Rabu, 17 November 2010

TASAWUF

PENELITIAN DAN PENGKAJIAN TASWAUF

Penelitian dan pengkajian dalam bidang ilmu tasawuf merupakan bagian yang tak terputuskan dari penelitian dan pengembangan dalam ilmu pengetahuan agama Islam. Penelitian agama memang berbeda dengan penelitian ilmu. Ilmu sosial, namun berhubungan erat dan tidak bisa dipisahkan dari metode, metode penelitian sosial pada umumnya. Perbedaan antara penelitian agama dengan penelitian ilmu, ilmu sosial teletak pada medan, tujuan dan pendekatan (sudut penilaian).
Penelitian agama, medannya mencakup tiga lapangan yakni;
1.  Memahami dan mengkaji kitab-kitab yang merupakan sumber baku suatu agama dan merupakan sumber statiknya.
2. Mengkaji hasil-hasil ijtihad para ulama’ yang merupakan sumber dinamika dalam pengembangna ajaran suatu agama. Yang kemudian melahirkan ilmu-ilmu agama (dalam kitab-kitab kuning) yang bersifat normatif dan deduktif.
3. Fenimena keagamaan, yakni perilaaku dan pola kehidupan umat beragama yang nyata-nyata hidup dan berada di tengah-tengah masyarakat umat islam. Ahli-ahli ilmu sosial menurut mattuda hanya bisa menggapai medan yang ketiga ini.
Tujuan penelitian agama adalah untuk mengembangkan pemahaman dan membudayakan pengalaman agama sesuai dengan tingkat perkembangan peradaban umat manusia.
Penelitian atau studi dalam bidang ilmu tasawuf objeknya bisa berwujud ajaran-ajaran ulama-ulama sufi masa lampau yang telah tebukukan dalam kitab-kitab kuning ataupun yang masih dalam bentuk tulisan tangan. Medannya masih amat terbentang luas dan belum banyak dijamah oleh para penelityi orientalis adalah fenomena kehidupan para kelompok-kelompok sufi yang nyata ada berserakan di seraya alam Islami.
Bentuk pemikiran yang mudah dijalankan adalah studi kasus yakni meneliti dan mengkaji sesuatu kasus ditinjau segala aspeknya untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman secara bulat. Denagn jalan menelusuri segala aspeknya bisa mencoba membuat eksplanasi untuk menjawab soal yang kemudian menyusun prediksi.
Setiap tokoh sufi hanya bisa dimengerti ajaran dan pikirannya sesuai dengan sejarah kehidupan, penghayatan dan lingkungan budaya yang mengelilingi hidupnya.
Studi kasus merupakan pilihan yang wajar dalam menggarap sejarah perkembangan dan penelusuran tasawuf di Indonesia. Dari adanya penumpukan hasil-hasil studi kasus ini baru bisa di tata dan disistematis atau di konstruksi perkembangan tasawuf di Indonesia.
Ciri dari studi kasus hanya  bisa dilakukan oleh seorang peneliti yang punya bakat memadai tentang ilmu taasawuf beserta kedudukannya dalam perkembangan pemikiran dan budaya ke Islaman. Karena dalam studi kasus seorang peneliti harus peka menilai data-data yang bermakna dan kemudian menganalisisnya untuk mengadakan eksplanasi dari sejumlah data yang dikumpulkan tanpa dukungan ketajaman analisis rasional krisis dan realis penelitian tidak akan terjadi dan ilmu ke Islaman akan lumpuh atau masih akan mengalami stagnasi yang cukup panjang.
Metode dan pendekatan
Metode yang digunakan yaitu metode penelitian ilmu-ilmu sosial, terutama analisis kesejarahan dan pendekatan fenomenologi (verstaken) yang cukup bagus untuk penelitian tasawuf dan agama pada umumnya. Tujuan penelitian semata-mata merekam apa yang dirasa, dipikirkan, dipahami dan diungkapkan oleh sang objek. Hasil rekaman itu kemudian dicoba untuk dimengerti dan dianalisis oleh peneliti untuk menyusun tesis atau teori.
Adapun dari segi pendekatan untuk memahami fenomena-fenomena keagamaan ataupun tasawuf dalam arti khusus dari penelitian agama. Fenomena keagamaan hanya bisa dimengerti secara utuh dan pas apabila diselami dari sudt agamis, dan bukan dari sudut ilmu sosial.
Persyaratan peneliti tasawuf
Sarat umum :
1.    Harus menguasai istilah-istilah atau bahasa sufisme
2.  Mempunyai pandangan yang jelas tentang apa hakikat tasawuf itu, dan bagaimana kaitannya dengan ajaran Islam. Hal ini penting karena peneliti bergerak dalam bidang penelitian agama, bukan pada bidang sosial dan abdikan bagi pengembangan agama.
Fana’ dan kasyaf adalah inti ajaran yang menjiwai seluruh pemikiran dan perbuatan ketasawufan. Tanpa cita fana’ dan kasyaf tidk ada tasawuf. Orang yang akan mengadakan pengamatan dan penelitian didalam tasawuf, harus mempertimbangkan dan berpegang pada inti cita tasawuf ini. Tanpa memahami cita inti sufisme, yakni fana’ dan kasyaf pengertiannya akan kabur, laksana si buta yang meraba-raba untuk mengenal gajah.

 TASAWUF DAN PEMUNCULANNYA DALAM ISLAM

Dengan prinsip beragama menurut dalil atau petunjuk wahyu yang benar, bukan waton Islam ini, umat Islam pada kurun pertama dibawah bimbingan langsung Nabi berhasil memperagakan pemahaman, penghayatan dan pengalaman Islam yang benar-benar murni dan segar sehingga terbentuk suatu umat baru dan menjadi khoiru ummat pada waktu itu. Keistimewaan Islam adalah punya sejarah yang jelas semenjak diturunkannya wahyu pertama hingga jadi agama yang sempurna dan untuk sebelum wafat nabi.
Islam mengarahkan tujuan dan pandangan hidup umatnya ke arah alam atau kampung akhirat, namun mewajibkan agar umat Islam tidak melupakan perjuangan untuk membina kehidupan dunianya secara layak dan jaya. Sebab-sebab pemikiran rasional yang mendasari perkembangan cabang-cabfang ilmu ke Islaman telah mengeringkan aspek spiritual dari rasa keagamaan. Maka pemahaman agama disamping tidak utuh, juga jadi formalitas legalitas keadaan ini mau tidak mau memupuk kesuburan perkembangan pengarauh ajaran mistik dalam kalangan umat Islam.
Mistik termasuk jenis kepercayaan atau ajaran. Ciri khususnya, para penganut mistik percaya bahwa pengetahuan tentang hakikat atau tentang Tuhan bisa dicapai melalui meditasi (zikir) atau tanggapan batin (pengalaman kejiwaan) dengan mematikan fungsi fikiran dan panca indra. Dengan perantaraan penghayatan kejiwaan yang mistis seorang mistikus dan sufi bisa mencapai tingkat kehidupan yang sempurna, yakni menjadi insan kamil (al-ihsan al-kamil) menguasai ilmu ghaib dan bahkan bersatu dengan Tuhan.
Kalangan umat Islam masa lalu atau bahkan hingga kini ajaran tasawuf adalah yang paling mereka bangga-banggakan dan mampu merebut hati umat Islam hingga ke pelosok-pelosok alam Islami. Mereka merasa bahwa jelas mistik atau tarekat mampu menghidupkan spiritualitas yang tiada bandingnya.
Ditangan para sufi pemahaman dan pengalaman Islam beralih kearah ekstern kerohanian. Tasawuf sebagai suatu ajaran mistik memang berwatak eskapisme, karena penguasaan ilmu ghaib dan ma’rifat pada zat tuhan adalah kebesaran yang segala-galanya. Maka dunia dan apa saja selain Allah adalah hijab (tabir)byang memburamkan serta mengotori hati manusia. Dan sebagai tangga untuk mencapai penghayatan ma’rifat para sufi disyaratkan menjalankan laku fakir (maqam faqra) yang diartikan tangan tidak punya apa-apa, dan hatipun kosong tak butuh apa-apa selain Allah.
Ruh utama pendorong kehidupan batin pada sufi juga telah digelar secara indah dan jitu oleh Rabi’ah yaitu, cinta rindu yang penuh emosional pada Tuhannya. Cinta rindu pendorong kegandrungan untuk bertemu muka dan ber-‚asyiq-masyuq atau bahkan kalau mungkin bersatu dengan Tuhan kekasihnya. Cinta rindu atau syauqun yang menimbulkan kegelisahan hati antara takut dan harap (khauf dan raja’) yang memuncak dalam penghayatan sakar (mabuk cinta) yang disebut UNS adalah ruh kehidupan batin para sufi. Mahabah (cinta rindu) pada Allah dalam bentuknya yang murni dan ekstrim emosional ini tentu memandang kecil dan bahkan merendahkan terhadap apa sja selain Allah itulah halul mahabbah dalam ajaran tasawuf.
Pada sufi tidak akan sampai pada tujuannya terkecuali pada tujuannya terkecuali dengan laku mujahadah yang berat dan lama yang dipusatkan untuk mematikan segala keinginannya (selain Allah), dan menghancurkan segala kejelasan jiwanya dan menjalankan bermacam-macam risalah yang diatur dan ditentukan oleh para sufi sendiri dan mereka namakan thariqah.
Menurut al-Ghazali dalam kitabnya al-Muqidz min- al Dlalal ada 3 jenjang dalam Thareqah:
1.      Penyucian hati (via vurgative)
2.      Konsentrasi dalam berdzikir (via kontemplativa)
3.      Fana’ atau mukasyafah (kasful manjud) yaitu via illuminativa (vision)
Pensucian hati terhadap apa saja yang selain Allah ta’ala, sedang kunci pembukanya laksana takbirotul ihram bagi shalat, yakni menenggelamkan hati untuk berdzikir pada Allah. Dan akhirnya fana’ (ecstasy) sepenuhnya dalam penghayatan pada Allah ta’ala.
Tasawuf itu punya daya terik yang luar biasa bagi para pengagum yang mempercayai penghayatan mistis ssebagai sesuatu kbenaran yang haqul yaqin. Dengan tasawuf mereka merasa bisa mencapai hidup yang sempurna atau al-ihsan al kamil yang menguasai ilmu serba ghaib dan daya linuwih yang dinamakan keramat atau ilmu laduniyah.
Menurut al-ghazali organ tubuh yang paling istimewa menurut ajaran tasawuf yaitu hati (qalbu) karena hati menurut al-Ghazali punya 2 pintu.
1.      Menghadap dunia luar melalui tanggapan panca indra
2.      Kedunia dalam ke alam serba ghaib
Kalbu itu berfungsi cermin yang apabila berhasil disucikan dari kotoran keduniaan, mampu menangkap cahaya ilahi sehingga kedalam kaca hatinya sendiri akan immanen bayang-bayang Tuhan (dhilullah). Oleh karena itu menurut ajaran tasawuf diterangkan, bahwa barang siapa kenal akan dirinya atau kalbunya tentu kenal Tuhannya (man ‘arafa nafsah ‘arafa rabbah) itulah pokok-pokok ajaran tasawuf bagi orang yang beriman pada pengamalan musrik.
Dalam Islam dzikir adalah sarana mengendalikan diri, agar selalu ingat akan tuhan dalam setiap langkah dan sepak terjang sehari-hari. Sedangkan dalam tasawuf dzikir dijadikan saran atau wasilah meditasi takni menenggelamkan hati dalam dzikir pada Allah. Jadi tasawuf mengalihkan fungsi dzikir jadi jalan (thariqah) untuk menyongsong terbukanya tabir ghaib (kasyaf). Zikir dalam tasawuf dijadikan sarana atau wasilah meditasi (konsentrasi) untuk mengalihkan kesadaran dari persepsi alam sekitarnya (dunia material) ke alam batin, yakni untuk menyongsong penghayatan kasyaf dan fana’ (ecstasy).

TAREKAT

Rabi’ah al-Adawiyah serta al-Ghazali mengungkapkan bahwa tujuan utama yang menjadi pusat ideal orang-orang yang menjalankan laku mistik atau tasawuf adalah mendapatkan penghayatan ma’rifat langsung pada zat Allah atau Zat mutlaq. Para sufi lebih sering menamakan Zat allah sebagai Al-haqq atau haqiqah yang zat yang nyata (the Reality) yakni realitas mutlak yang bisa dihayatinya. Hanya saja mata manusia menurut al-Ghazali tidak akan bisa menangkap cahaya Tuhan lantaran terlalu terang tidak sesuia dengan kemampuan mata kelelawar. Maka yang bisa menangkap dan menghayati zat Tuhan dan alam ghaib adalah kalbu (mata hati) yakni jiwa manusia.
Inti sari yang menjadi pusat dalam ajaran tasawuf adalah penghayatan kasyaf, yaitu penghayatan ecstasy atau istilah tasawufnya fana’ dan ma’rifat. Ecstasy atau fana’ dan ma’rifat adalah pengalaman kejiwaan. Oleh karena itu jalan yang harus ditempuhnya adalah meditasi konsentrasi di dalam zikir pada Allah. Dalam tasawufnya jalan menuju Tuhan dinamakan thariqah, kata inggrisnya the path.
Para sufi yang sedang rindu mengembara mencari Tuhan menyebut dirinya sebagai pengembara (salik mufasir) mereka melangkahkan  aju dari satu tingkat ketingkat atasnya. Tingkat-tingkat pendakian rohani atau kejiwaan ini mereka memakan maqamat atau stations atau stages. Jalan yang mereka tempuh dinamakan thariqah. Sedang tujuan akhirnya adalah mencapai penghayatan fana’ fillah (al-fana’ fi’il haqqi) yaitu kesadaran leburnya diri mereka dalam samudra ilahi. Tarekat atau jalan tasawuf ini begitu ini begitu penting hingga ilmu tasawuf itu sering dinamakan ilmu suluk. 3 (tiga) langkah menuju jalan allah menurut al Ghaali:
Penyucian hati (via purgative)
Penyucian hati sebagai langkah pertama tarekat, terdiri atas dua bagian yaitu mawas diri dan penguasaan serta pengendalian nafsu-nafsu. Bagian kedua baru membersihkan hati dari ikatan pengaruh keduniaan pensucian hati terhadap setiap ikatan keduniaan berarti pembinaan budi luhur karena memperebutkan keduniaan adalah sumber kericuhan dan kejahatan dan pangkal perhambatan nafsu-nafsu yang tercela.
Mawas diri dalam tasawuf adalah mawas diri yang ditujukan bagi kepentingan oleh batin dan penghayatan mistis. Mawas diri bagi kepentingan sufisme ditujukan untuk p;engenalan dan penguasaan kemampuan batin. Salah satu yang khas dalam setiap ajaran mistik seperti ditengahkan al-Ghazali diatas, adalah kepercayaan bahwa hati itu mempunyai fungsi rohani yang amat vital bagi kehidupan dan penghayatan mistis. Yakni laksana cermin rohani untuk menangkap sinar Tuhan dan alam ghaib, sebagai mengenal zat Tuhan dan menguasai ilmu ghaib (okultis) adalah dengan kalbu (hati) dan bukan yang mata atau akal.
Yang dimaksud dengan hati atau kalbu didalam tasawuf bukan kalbu jasmaniyah, akan tetapi fungsi rohani dari pada kalbua yakni: kalbu adalah zat rohani yang halus yang bukan kebendaan penangkap hakikat sesuatu dan terpantul diatasnya laksana terpantulnya gambar-gambar diatas cermin.
Dalam al-Risalah al-Qusyairiyah dinyatakan bahwa di dalam kalbu terdapat ruh dan sirr. Seterusnya sirr dikatakan sebagai dapat atau alat musyahadah/ menyaksikan alam ghaib. Sedangkan ruh merupakan tempat atau alat mahabah (mencintai tuhan) dan kalbu adalah tempat atau alat untuk melihat pada zat Tuhan.
Dengan mawas diri menurut al-Ghazali akan diketemukan tiga jenis nafsu, dua diantaranya di nilai sebagai ashhab al tsimal (pantai kiri)  yang selalu memalingkan manusian mencintai kearah dunia. Sedang sejenis yang lain, yakni yang oleh al-Ghazali disebut nafsu mutmainah merupakan ashab al-yamiin yang membantu manusia untuk tamak pada kesucian cinta Tuhan. Kedua, nafsu yang dipandang sebagai musuh didalam selimut itu oleh al-Ghazali disebut nafsu lauwamah dan nafsu amarah. Nafsu lauwamah dilambangkan sebagai hinjir (berawal seperti babi atau celeng yang bersifat amat rakus pada dunia, tidak ingat batang atau haram dilahatnya. Sedangkan nafsu amarah dilambangkan sebagai kalbun (binatang serigala)berwatak buas ingin menang sendiri.
Jika manusia dikuasai nafsu lauwamah akan menimbulkan watak bahimiyyah sebagai binatng hinjir, bila manusia dikuasai nafsu amarah akan meluhurkan watak sabu’iyyah (srigala). Apabila hidup manusia dikuasai lauwamah dan amarah bersama-sama akan mendorong munculnya watak syaithaniyah. Jika manusia dikuasai nafsu mutmainah akan menimbulkan watak robbaniyyah (ketuhanan) senang kebutuhan, tapabrata, dermawan, tawadu’, cinta kebaikan, dan sebagainya. Manusia menurut al-Ghazali dikuasai 4 (empat) macam sifat yaitu: sifat Sahi’iyah, bahimiyah, syaithaniyah dan rubbaniyah. Kebanyakan manusia dikuasai nafsu amarah dan nafsu syahwat.
Agar bisa menguasai dan mengendalikan nafsu syahwat dan amarah yaitu; berusaha memfanakan (melenyapkan) sifat-sifat yang tercela dan menghias diri dengan sifat-sifat yang mahmudah (terpuji) atau berusaha masuk pada budi pakerti yang sesuai dengan sunah (suni) dan keluar dari setiap budi pekerti yang rendah. Setelah berhasil menanggalkan semua itu baru melangkah kepintu masuk tarekat yang sesungguhnya yakni; taghyiru al qolbi li’alkuliyati ‘ama swa Allah (menyucikah hati terhadap apa yang selain Allah).

1 komentar: